Ditulis oleh : I Made Sila (Wakil Rektor II Dwijendra University)
Mitologi Watu Gunung runtuh, selalu di maknai setiap kita akan merayakan hari raya Saraswati yang rentetannya mulai hari Minggu Keliwon wuku Watu Gunung. Hari minggu keliwon wuku watu gunung juga sering disebut sebagai hari pemelastali. Pemelas tali berasal dari dua kata, pemelas artinya memisahkan, tali artinya sarana untuk pengikat. Sehingga pemelas tali dapat diartikan sebagai usaha untuk memisahkan tali yang mengikat/membelenggu manusia berupa kebodohan, kesombongan dan kegelapan.
Di kisahkan dalam lontar Medang Kemulan Waugunung adalah anak seorang raja dari Kerajaan Kundala Dwipa bernama Danghyang Kula Giri, sangat arif dan bijaksana mempunyai dua permaisuri yaitu Dewi Sinta dewi Landep. Begitu mengetahui permaisuri Dewi Sinta hamil sang raja melakukan taba brata yoga semadi di gunung Mahameru, memohon kepada Hyang Widi Wasa agar anaknya kelak menjadi raja yang besar dan sakti mandraguna. Saking khusuknya beryoga sang raja lupa bahwa permaisurinya sudah akan melahirkan, dan sang permaisuri menyusul ke tempat raja melakukan yoga semadi. Namun sayang baru sampai di kaki gunung di atas batu lempeng yang besar anaknya keburu lahir. Dewi Sinta sangat sedih karena anaknya saat lahir terjatuh di atas batu besar itu, dia menyaka kepalanya akan pecah tertimpa batu, namun atas anugrah Dewa Brahma keajaibanpun terjadi batu itu lah yang pecah dan anaknya sehat walafiat. Dewa Brahma memberi nama Watugunung, serta memberi kekuatan yang tidak akan bisa dibunuh baik, oleh manusia, binatang, dewa maupun detya, Watu Gunung hanya bisa dibunuh oleh Dewa Wisnu saat menjelman menjadi kura-kura raksasa.
Watugunung didik dengan kebijaksanaan, penuh kasih dan sayang, dia berkembang menjadi anak yang tampan dan cerdas tapi karena ia merasa kuat dan sakti dia kemudian menjadi takabur angkuh dan sombong, karena itulah dia dipukul oleh Dewi Sinta dengan siut( sendok nasi ) dikepalanya dan diusir dari Kerajaan.
Dalam pengembaraan Watugunung terus mengasah kesaktiannya dan mendirikan Kerajaan baru, serta menaklukan Kerajaan-kerajaan lain termasuk Kerajaan ayah bundanya, dan ingin menjadikan Dewi Sinta sebagai isterinya. Namun begitu Dewi Sinta menyadari bahwa Watugunung adalah anaknya, maka tidak mungkin ibu menjadi isteri anaknya, namun karena ketakaburan Watugunung, Dewi Sinta tak kuasa menolak. Untuk itu Dewi Sinta meminta pada Watugunung agar isteri Dewa Wisnu menjadi pelayan Dewi Sinta. Watugunung pun menyanggupi dan pergi ke wisnuloka agar Dewa Wisnu menyerahkan isterinya untuk dijadikan pelayan Dewi Sita, kelau tidak diijinkan Watugunung akan menyerang surgaloka. Maka terjadilah peperangan yang mahadasyat dan tidak ada yang kalah, menyadari kekuatan Watugunung, akhirnya minta bantuan Dewa Brahma untuk dapat mengalahkan Watugunung
Atas penunjuk Dewa Brahma, Dewa Wisnu menjelma menjadi kurma/kura kura raksasa, sehingga Watugunung bisa dijatuhkan pada hari Redite keliwon.
Hari redite keliwon wuku watugunung dinamai watugunung runtuh, namun karena keruntuhan watugunung dimaknai sebagai hari pemisahan kebodohan dan awidya yang membelenggu kehidupan manusia maka disebut kajeng keliwon pemelastali.
Pada hari soma umanis wuku watugunung dikisahkan watugunung meninggal, tubuhnya tertebas, sehingga disebut sandung watang. Secara harfiah diartikan bahwa orang yang telah memiliki kesadaran akan bisa melepaskan diri dari kebodohan dan awidya.
Hari anggara paing wuku watugunung tubuh watugunung yang telah tertebas itu, diseret kesana kemari oleh kurma raksasa, sehingga disebut hari paid paidan. Artinya bahwa kebodohan itu hanya bisa dihilangkan dengan belajar secara terus menurus, karena kebanaran ilmu bersifat tentative, sepanjang belum ada pengetahuan yang lebih benar.
Hari buda pon wuku watugunung atas permohonan bhagawan budha pada Dewa Wisnu watugunung hidup kembali sehingga disebut buda urip. Esok harinya hari werespati wage, watugunung menyadari dirinya ( metegtegan ) sehingga disebut hari penegtegan, akhirnya atas anugrah dari Dewa Siwa Watugunung hidup seterusnya sehingga hari itu juga disebut hari urip kelantas.
Watugunung sadar akan kesalahan terus menerus mohon ampun ( ngredana ) pada Dewa Siwa, sehingga hari sukra keliwon wuku watugunung disebut hari sukra pengredanaan , yaitu suatu kesadaran pada kesombongannya dan berjanji akan memperbaiki diri sehingga sekalipun memiliki ilmu yang tinggi hendaknya jangan takabur dan sombong, karena masih banyak ilmu yang perlu dipelajari.
Pada hari saniscara umanis watugunung, Dewa Siwa memohon kepada Dewa Brahma untuk menurunkan Dewa Saraswati, untuk memberkati umat manusia dengan pengetahuan yang amat berguna dan berkembang terus, demi kemanjuan umat manusia .
Ini tentu sangat relevan dengan motto Universitas Dwijendra, “Widhyati Durjaya Jaya Wijaya Jayanti” artinya mencapai pengetahuan yang “amat berguna”, “selalu berguna” dan “berguna seterusnya”.
Mari kita maknai dengan belajar dan membangun kesadaran diri untuk meningkatkan kualitas diri menuju kehidupan yang baik dan sempurna paripurna
Dalam Kitab Suci Sarasamuscaya sloka IV dijelaskan Bahwa “kelahiran sebagai manusia, sangatlah utama, sebabnya demikian, (karena) ia memiliki kemampuan untuk menyelamatkan dirinya dari kesengsaraan, dengan cara belajar, dan melakukan perbuatan-perbuatan baik, itulah keutamaan dilahirkan sebagai manusia”.
Mari kita bangun wujudkan visi Dwijendra University, “Berguna, Berbudaya , Mandiri dan Sejahtera ( Naya Mantra )
berit a ini pernah terbit pada laman sunarpos.com