Mayoritas Masyarakat Bali Belum Paham Hukum Lokika Sanggraha

Perempuan adat Bali hingga saat ini belum berani mencari keadilan dalam kasus delik Lokika Sanggraha yang cenderung merugikan sisi pihak perempuan. Hal ini terungkap dalam penelitian disertasi yang dibukukan setebal 197 halaman. Penelitian ini dipaparkan dalam acara bedah buku dan seminar di Fakultas Hukum Universitas Dwijendra yang berjudul Hukum Pidana Adat Delik Kesusilaan Lokika Sanggraha di Bali, pada Jumat (23/8/2024) pukul 18.20 Wita.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Dwijendra sekaligus penulis buku tersebut, Dr Ni Made Liana Dewi, menyampaikan Hukum Pidana Adat Delik Kesusilaan Lokika Sanggraha pada dasarnya untuk meningkatkan harkat dan martabat derajat perempuan Bali.

“Khususnya adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan akibat dari perbuatan delik Lokika Sanggraha. Intinya dalam hal ini adalah perempuan, harus lebih berhati-hati khususnya adalah janji-janji yang diberikan oleh kaum lelaki supaya terhindar dari delik kesusilaan,” ungkapnya.

1. Perempuan dalam delik Lokika Sanggraha enggan melapor

Mayoritas Masyarakat Bali Belum Paham Hukum Lokika SanggrahaBedah buku terkait Lokika Sanggraha (IDN Times/Ayu Afria)

Menurutnya, permasalahan Lokika Sanggraha secara umum di Bali sering terjadi, dan hanya sedikit kasus yang sampai di meja pihak berwajib. Hal ini karena keengganan dari pihak perempuan untuk melaporkan. Adanya rasa malu menjadi alasan keengganan tersebut. Laporan ini penting karena pihak perempuan menghendaki kepastian hukum terhadap anak yang dikandungnya, dan anak yang akan dilahirkannya nanti.

“Adanya rasa malu itu yang pertama. Rasa malu ini yang membuat para perempuan ini enggan melaporkan ke pihak yang berwajib karena syarat atau yang dipersyaratkan menjadi delik kesusilaan untuk Lokika Sanggraha adalah adanya kehamilan tanpa ada yang mengakui kehamilan tersebut,” jelasnya.

Akibat dari delik kesusilaan ini, tidak hanya perempuan saja yang menjadi korban. Tetapi juga anak yang akan dilahirkan, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya. Dalam lima tahun terakhir, kasus Lokika Sanggraha yang masuk ke pengadilan juga masih sedikit. Tercatat hanya dua kasus yang berhasil diputus. Sementara berdasarkan jurnal penelitian, banyak perempuan yang mengambil langkah aborsi hingga bunuh diri karena kehamilan di luar perkawinan.

2. Mayoritas generasi muda Bali belum memiliki kesadaran Lokika Sanggraha

Mayoritas Masyarakat Bali Belum Paham Hukum Lokika SanggrahaDekan Fakultas Hukum Universitas Dwijendra, Dr. Ni Made Liana Dewi (IDN Times/Ayu Afria)

Menurut Liana, di Bali sendiri anak yang lahir karena delik Lokika Sanggraha dan tidak diakui oleh bapaknya, dianggap sebagai anak Bebinjat (anak lahir dari perkawinan yang tidak sah). Mayoritas generasi muda Bali belum memiliki kesadaran terkait hal ini. Sehingga pihak orangtua berperan untuk menyampaikan kepada anak-anak perempuannya agar lebih berhati-hati dalam menjalin hubungan, sehingga tidak termakan bujuk rayu laki-laki.

“Jangan melakukan hal-hal yang di luar batas sehingga hal ini tidak terjadi,” katanya.

Ia mengambil satu contoh kasus pada 2022 di Desa Saba, Kabupaten Gianyar, yang mengharuskan perempuan dikawinkan secara adat dengan keris dalam delik Lokika Sanggraha. Perkawinan dengan keris ini menurutnya sebagai solusi untuk mengembalikan keseimbangan akibat dari dampak delik Lokika Sanggraha.

Sementara itu delik Lokika Sanggraha sendiri disebutnya belum diatur, baik di hukum nasiknal maupun hukum adat Bali. Sehingga perempuan yang mencari keadilan untuk delik Lokika Sanggraha ini lebih memilih menggunakan dasar yurisprudensi.

“Di Bali pernah diputus kasus Lokika Sanggraha ini dengan yurisprudensi yang ada,” terangnya.

3. Adanya keengganan pihak laki-laki karena belum siap

Mayoritas Masyarakat Bali Belum Paham Hukum Lokika SanggrahaRektor Universitas Dwijendra, Prof. I Gede Sedana (IDN Times/Ayu Afria)

Pihak laki-laki dalam delik ini enggan karena belum ada kesiapan untuk membina rumah tangga, baik secara ekonomi maupun pribadi laki-laki yang memang tidak ingin bertanggung jawab.

“Ada dua kasus di Denpasar dan Tabanan tahun 2022 selesai secara hukum. Tapi hukumannya tidak lebih dari maksimal tiga bulan. Jadi rasa keadilannya belum untuk perempuan,” katanya.

Sementara itu, Rektor Universitas Dwijendra, Prof I Gede Sedana, mengatakan buku ini juga sebagai referensi pemerintah dalam membuat peraturan terkait delik Lokika Sanggraha. Meskipun pihaknya memahami bahwa aturan-aturan adat itu sifatnya adalah spesifik lokasi.

“Ini bisa menjadi referensi bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan adat itu sendiri. Buku ini akan menjadi satu pedoman yang sangat bagus untuk kita semua,” ungkap Sedana.

Artikel ini telah tayang di Idntimes.com dengan judul “Mayoritas Masyarakat Bali Belum Paham Hukum Lokika Sanggraha”.