Petani Didorong Lirik Teknologi Tanam Padi di Musim Kering

Tingginya harga beras saat ini kuat dipengaruhi oleh minimnya produksi petani. Hal tersebut dikarenakan penundaaan tanam padi yang sempat terjadi saat kemarau panjang 2023 lalu, sehingga membuat panen pun mundur. Agar persoalan iklim ini tidak lagi menganggu produksi, petani diharapkan mau melirik teknologi penanaman padi saat musim kemarau atau saat ketersediaan air sedikit.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali, Prof. Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., M.M.A. di Denpasar, Jumat (16/2). Naiknya harga beras di pasar saat ini dipengaruhi oleh ketersediaan yang terbatas sementara kebutuhan kian meningkat. Menurunnya supply beras diakibatkan oleh turunnya produksi gabah di tingkat petani merupakan pengaruh Iklim tahun lalu yang mengakibatkan perubahan jadwal tanam.

“Jika memang iklim penyebabnya, maka kita ga bisa melawan alam. Sehingga kalau memang akan menemui situasi seperti itu (kemarau panjang) lagi, disitulah peran teknologi pertanian,” terangnya.

Teknologi pertanian yang bisa dilakukan, lanjutnya yaitu teknologi benih dan penerapan teknik SRI (system of rice intensification) yang tidak banyak membutuhkan air. Teknologi ini dikatakannya sudah pernah diujicobakan, bahkan memberikan hasil yang bagus. “Di setiap kabupaten sudah dicoba (Teknologi Sri). Seperti di Kabupaten Badung, tepatnya di Sangeh hasilnya bagus, biayanya juga kecil,” katanya.

Hanya saja persoalannya saat ini, Rektor Universitas Dwijendra ini mengatakan, mindset petani harus bisa diarahkan untuk mau menggunakan teknologi tersebut. Menurutnya mindset petani sudah terpaku pada menanam padi membutuhkan banyak air. Padahal padi bukan tanaman air, melainkan tanaman biasa di atas tanah tanah yang membutuhkan air. “Inilah didorong kalau emang kita mengklaim bahwa iklim ini penyebabnya. Sehingga bisa diterapkan teknologi Sri. Teknologinya sudah ada tinggal mindset petani yang perlu dirubah,” imbuhnya.

Berita ini pernah terbit pada laman bisnisbali.com