Oleh: Ni Made Cahya Dwipayanti
Media sosial telah merubah cara manusia berinteraksi dan berkomunikasi dalam dua dekade terakhir. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, dan YouTube memungkinkan miliaran orang untuk berbagi informasi, mengekspresikan diri, dan membangun jaringan tanpa batas geografis. Namun, di tengah manfaat besar yang ditawarkan, media sosial juga menghadirkan tantangan serius yang luput dari perhatian, yaitu krisis kepercayaan. Krisis ini muncul akibat sulitnya membedakan informasi benar dari yang salah dalam derasnya arus data yang terus mengalir. Media sosial, yang awalnya dirancang untuk mendekatkan manusia, kini sering menjadi medan pertempuran informasi yang justru merusak kepercayaan antarmasyarakat.
Krisis kepercayaan dalam media sosial mengacu pada kondisi di mana pengguna sulit mempercayai informasi yang mereka temukan secara online. Hal ini disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, termasuk kemudahan penyebaran informasi palsu, algoritma yang memprioritaskan keterlibatan dibandingkan keakuratan informasi, dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan konten. Penyebaran disinformasi yang cepat menciptakan lingkungan di mana kebenaran menjadi relatif, dan opini yang paling menarik perhatian sering kali dianggap sebagai fakta.
Ada beberapa faktor utama yang memicu krisis ini. Media sosial memberikan kemudahan bagi setiap individu untuk menyebarkan informasi tanpa perlu melalui proses verifikasi atau editorial, sebagaimana yang diterapkan oleh media tradisional. Selain itu, algoritma media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten sesuai preferensi pengguna, menciptakan “filter bubble” di mana seseorang hanya terpapar pada sudut pandang tertentu. Hal ini diperburuk oleh “echo chamber” yang memperkuat bias konfirmasi, di mana pengguna cenderung mempercayai informasi yang sesuai dengan keyakinannya tanpa mempertanyakan keakuratannya.
Minimnya transparansi algoritma juga menjadi masalah besar. Sebagian besar pengguna media sosial tidak memahami bagaimana algoritma bekerja dan mengapa konten tertentu muncul di linimasa mereka. Ketika algoritma memprioritaskan konten yang sensasional atau kontroversial, kepercayaan terhadap media sosial semakin terkikis. Lebih jauh, sebagai entitas bisnis, platform media sosial sering kali memonetisasi keterlibatan pengguna melalui iklan, sehingga konten yang memancing reaksi emosional lebih diprioritaskan, meskipun itu berarti menyebarkan informasi palsu.
Dampak dari krisis ini sangat luas. Polarisasi sosial menjadi semakin tajam karena algoritma media sosial memperkuat pandangan ekstrem, menciptakan jurang pemisah antara kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda. Kepercayaan terhadap institusi seperti pemerintah, media massa, dan organisasi internasional menurun akibat penyebaran disinformasi yang menargetkan institusi tersebut. Selain itu, ketidakpastian informasi di media sosial memicu gangguan psikologis seperti stres dan kecemasan, terutama ketika pengguna terus-menerus terpapar informasi negatif atau palsu. Dalam konteks yang lebih luas, krisis kepercayaan ini mengancam proses demokrasi, seperti yang terlihat pada campur tangan orang asing dalam pemilu di berbagai negara melalui disinformasi.
Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan pendekatan kolektif dari berbagai pihak. Pendidikan literasi digital perlu ditingkatkan agar masyarakat mampu memverifikasi informasi, mengenali tanda-tanda disinformasi, dan memahami cara kerja algoritma. Pemerintah juga perlu menerapkan regulasi yang memastikan media sosial bertanggung jawab atas konten yang mereka distribusikan, termasuk transparansi algoritma dan penghapusan konten palsu. Di sisi lain, platform media sosial harus bekerja sama dengan organisasi pemeriksa fakta untuk memastikan informasi yang salah segera ditandai atau dihapus.
Lebih lanjut, perusahaan teknologi perlu mengadopsi desain algoritma yang etis, yang tidak hanya fokus pada keterlibatan pengguna tetapi juga memastikan bahwa konten yang disajikan kredibel dan bertanggung jawab. Pengguna media sosial juga memegang peran penting dalam melawan disinformasi dengan mengadopsi sikap skeptis yang sehat, memverifikasi fakta sebelum membagikan informasi, dan bertanggung jawab terhadap konten yang mereka konsumsi dan sebarkan.
Media sosial adalah alat yang sangat kuat, tetapi kekuatannya dapat merusak jika tidak dikelola dengan baik. Krisis kepercayaan yang muncul di era media sosial adalah ancaman serius terhadap stabilitas sosial, kepercayaan publik, dan fondasi demokrasi. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama dari semua pihak seperti pengguna, perusahaan teknologi, pemerintah, dan masyarakat sipil, untuk menciptakan ekosistem media sosial yang lebih sehat, transparan, dan bertanggung jawab. Dengan pendekatan yang terkoordinasi, media sosial dapat kembali menjadi ruang yang memfasilitasi konektivitas dan pertukaran informasi yang sehat, alih-alih menjadi medan pertempuran disinformasi dan manipulasi.
Berita ini pernah terbit pada laman sunarpos.com